(Sebuah catatan Ringan untuk Mgr. Leandro Maria Alves, Pr, Uskup Baucau, Timor Leste).
Oleh: Herry Klau, Angkatan V Santo Mikhael Kupang Tahun 1995-1999/teman kelas Dom Leandro.
Catatan Awal :
Seminari Tinggi Santo Mikhael Dalam Derap Langkah
DUA puluh delapan (28) tahun silam. Tepatnya, Jumat, 21 Juli 1995 Pukul 19.00 wita, ada 33 orang pria separuh baya berkumpul di ruang makan Seminari Tinggi Santo Mikhael, Penfui Kupang. Acara perkenalan Angkatan V Seminari Tinggi Santo Mikhael, Penfui, Kupang. Datang dari berbagai daerah di Flobamorata, 33 orang itu baru saja menghabiskan Tahun Orientasi Rohani. Mereka datang untuk mengawali lagi satu langkah sebagai calon imam. Tiga puluh satu orang datang dari TOR Loo Damian, Emaus dan dua orang dari antara mereka berasal dari Keuskupan Dili, Timor Leste (dulu Timor-Timur). Yang seorang bernama Bettencourt da Costa dan satu lainnya Leandro Maria Alves.
Kaki bukit Penfui dan sebuah kampung kecil di bawahnya yang bernama Matani, yang akan menjadi saksi bisu kebersamaan dan persaudaraan di antara ke-33 pemuda itu yang hadir sebagai Angkatan V Seminari Tinggi Santo Mikhael.
Perjalanan hidup yang penuh suka dan duka, yang di dalamnya ada canda tawa dan tangis, ada hitam dan putih, ada naik dan turun, ada terang dan gelap bercampur jadi satu dan tumpah di lorong-lorong mahoni dan batu-batu terjal di seputaran Unit C, Unit D, Unit E dan Unit F kala itu.
Saat masuk di Juli 1995, Seminari Tinggi Santo Mikhael yang kini berusia 33 tahun hanya terdapat 4 unit asrama ditambah sebuah kamar makan yang terbagi antara para imam dan frater, sebuah dapur dan satu buah kapela yang berdiri kokoh di tengah-tengah asrama.
Para frater dan imam yang saat itu jumlahnya tidak seberapa, mungkin hanya 60-an orang berbaur jadi satu dan hanya berkeliling di sekitaran area itu untuk kegiatan fisik dan rohani. Para frater saling kenal baik satu sama lain, bahkan saling menghafal saat memegang ceret kecil dan keluar dari kamar makan, usai makan siang dan duduk bercengkerama di bawah rindangnya pohon Mahoni di depan kapela sebelum istirahat siang.
Bahkan, persaudaraan dan kekeluargaan pun terbawa lagi saat beramai-ramai menaklukkan bebatuan tajam dengan palu dan linggis. Bahkan nuansa fraternitas terbawa juga sampai di “Lapangan Merah Matani” tatkala para frater berjibaku mengejar bola di lapangan yang kini sudah berubah rupa dikelilingi tembok-tembok rumah yang megah.
Jangan dibayangkan 33 tahun silam seperti saat ini, karena waktu terus berubah dan manusia pun berubah di dalamnya. “Tempora mutantur, et nos mutamur in ilis”
Penfui tidak seramai saat ini. Masih “kampung”. Hanya ada satu jalur mulai dari Bundaran Penghijauan hingga Bimoku. Belum ada perumahan padat seperti sekarang. Hanya ada Kampus Universitas Nusa Cendana dan STIM. Sementara Kampus Unwira masih berupa tembok-tembok dan tiang-tiang yang berdiri satu per satu. Biara yang ada pun hanya Santo Mikhael, Biara OCD, Biara Claretian dan Biara RVM. Dan para penghuni biara itu pun mendapat asuhan mata kuliah di kampus Fakultas Filsafat Unwira yang sangat tandus di antara wadas.
Lalu, mengapa Penfui. Pertanyaannya sederhana, mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Seminari Tinggi Santo Mikhael??
Saya mencoba menukik lebih dalam, dan memberikan aksentuasi khusus tentang kami, tentang angkatan kelima STSM.
Angkatan kelima datang dalam jumlah yang cukup banyak. Waktu itu Seminari Tinggi serasa penuh karena kami terbagi dan memenuhi ruang-ruang unit yang ada, bersama angkatan pertama, kedua, ketiga dan keempat. Kami hidup berdampingan dalam satu unit dengan teman-teman dari Keuskupan Agung Kupang, Keuskupan Atambua, Keuskupan Weetebula dan Keuskupan Dili. Kami terbagi sama rata, sehingga kami saling mendengar dan taat. Sebagai calon imam kami mulai belajar nilai-nilai ketaatan.
Karena jumlah kami banyak, sehingga setiap kali ada acara, setiap ada hajatan antar angkatan, kami cukup diandalkan dan bahkan menjadi satu kekuatan tersendiri. Dan itu berlangsung selama 4 tahun, kurun waktu 1995-1999.
Di tahun-tahun itu, seakan jadi pembuktian bagi kami untuk menunjukkan identitas yang sesungguhnya sebagai mahasiswa calon imam atau calon imam yang mahasiswa.
Setelah berkutat setahun dengan olah rohani dibarengi olah fisik di tahun orientasi rohani, kami dihadapkan pada realitas yang berbanding terbalik. Harus bergulat dengan diri sendiri, mengatur waktu untuk belajar sendiri di samping mengikuti aturan-aturan asrama seminari yang “semi ketat” dan sedikit “kaku”. Kami jalani itu semua dengan kemauan bebas dan kerelaan tanpa batas, unlimited.
Kami berhadapan dengan dosen Moral, dosen Kitab Suci, dosen Filsafat, dosen Psikologi dan dosen-dosen mata kuliah umum lainnya yang terus kami kenang hingga saat ini seperti Almarhum Romo Alo Pendito Keranz, Almarhum Romo Agus Bula, Almarhum Pater Jose Miguel Celma, Almarhum Pater Julian, Romo Yoseph Nahak, Romo Valens Boi, Romo Ansel Leu, Pak Norbert Jegalus dan masih banyak lainnya.
Sekali lagi, pertanyaan yang sama, lalu mengapa Seminari Santo Mikhael??
Tulisan ringan ini, yang mungkin bisa dibilang coretan tercecer yang terkumpul dari rekaman-rekaman kebersamaan selama 4 tahun, hanyalah sebuah “kebanggaan” akan arti sesungguhnya dari capaian-capaian atau prestasi yang pernah ditoreh.
Selama 33 tahun sejak Santo Mikhael hadir di tanah Timor dengan angkatan pertamanya seperti Romo Renso Tae Lake, Romo Sipri Senda, Romo Theo Asa Siri, Romo Gerardus Bani, tentu sudah banyak yang sudah dilakukan, dengan deretan trophy atau piagam dan penghargaan lainnya.
Coretan ini hanya coba memberikan sebuah nilai lebih, yang disebut sebagai prestasi pertama Seminari Tinggi Santo Mikhael yang dari rahimnya melahirkan seorang putera terbaik dari negeri matahari terbit, Timor Leste, menjadi seorang Uskup.
Uskup itu berasal dari ufuk Timur sebuah negeri yang pernah menjadi bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Uskup itu berasal dari negara yang masih satu daratan dengan Pulau Timor. Dialah Mgr. Leandro Maria Alves, Pr, seorang imam muda kelahiran Ermera pada 1974.
Mgr Leandro adalah seorang Imam Keuskupan Dili dan angkatan kelima Seminari Tinggi Santo Mikhael, Penfui, Kupang.
Catatan Tengah
Mgr. Leandro dari Kaca Mata Sahabat
Kami tak pernah menyangka, jikalau Leandro yang biasa kami sapa Ano, pada akhirnya menjadi seorang Uskup, pemimpin Gereja Katolik dalam sebuah wilayah keuskupan.
Beberapa lembar foto usang memenuhi dinding WA Grup angkatan V Seminari Santo Mikhael Penfui Kupang. Foto yang diambil puluhan tahun silam saat kami masih bersama Leandro menjadi mahasiswa filsafat di FFA Unwira Kupang. Teman kelas kami dua orang suster RVM yakni Suster Selvi Taek (sekarang di Biara RVM Soe) dan Suster Theresia Ngodhu (sekarang misionaris di Swedia) mengirim foto-foto di grup.
Senang bercampur bangga, tapi juga bercampur keheranan dan bertanya-tanya.
Seorang laki-laki yang tak banyak bicara, seorang pria yang rambutnya selalu disisir dengan membanting ke kiri, dengan bola mata bulat yang selalu bersinar, dipilih Paus Fransiskus untuk mengemban tugas yang sangat mulia, memimpin Umat Katolik Baucau yang ditinggal pergi pendahulunya Mgr. Basilio do Nascimento.
Malahan, penulis mengenal seorang Leandro cukup dekat karena pernah tinggal satu unit yang kamarnya bersebelahan.
“Pernah kami membawa papan garambol masuk ke kamar salah seorang frater. Sedang keasyikan bermain, tiba-tiba Romo pembina mengetuk pintu dan bertanya kenapa ribut di dalam kamar. Silahkan buka pintu dan karena ketakutan, kami segera buka pintu dan sama-sama merayap di kolong tempat tidur. Termasuk di dalamnya Uskup Leandro,” kenang Romo Goris Dudy, Pastor Paroki Stella Maris Atapupu yang adalah rekan karib kelas Mgr. Leandro.
“Pernah sekali waktu, bersama Leandro kami ke kupang untuk keperluan kuliah. Saat kembali, sudah lewat jam masuk asrama. Kami harus melewati “jalan tikus” untuk masuk ke kamar tapi berpapasan dengan Romo Pembina dan kakak tingkat dan kami harus buat pengakuan secara jujur,” kata Romo Elfrid Nahak, Pr.
Masih banyak lagi ceritera. Namun satu yang pasti, Leandro saat masih frater itu sosok yang sangat tenang dan kalem. Tidak pernah neko-neko. Prinsipil dan jika sudah benar, dia akan tetap berdiri teguh di atas kebenaran itu. Kami menyebutnya Mr. Perfect. Pembawaannya tenang dan terus mengalir mengikuti irama hidup asrama dan perkuliahan.
Urusan rohani pun, Leandro selalu berdiri di depan tanpa ragu-ragu. Bahkan, saat masuk misa pagi, Leandro selalu mendahului.
“Saya masih ingat persis, Leandro duduk di kursi pojok kanan paling depan di dalam kapela. Dan ketika masuk kapela, dia sudah ada di dalam dan berdoa. Setelah jadi Uskup ini baru saya menyadari bahwa Tuhan tak pernah salah memilih,” ujar Alfred Atidja, seorang awam yang sekarang menetap di Kota Kupang.
Lain lagi sepenggal ceritera tentang Mgr. Leandro saat bermain bola. Sesungguhnya Leandro sangat piawai bermain basket. Ketika Pesta Family STSM, Leandro bersama Romo Tiago selalu menjadi pencetak angka terbanyak dan selalu membawa timnya menang. Drible bolanya sangat tenang, dibarengi pivotnya yang lincah dan meliuk-liuk di atas lapangan basket.
Akan tetapi berbanding terbalik di dunia bola kaki. Leandro hanya menjadi pemain anti di Lapangan Merah Matani.
“Kami selalu berlari lebih dahulu ke lapangan bola untuk menjadi pemain pertama. Sementara Leandro bahkan menjadi orang terakhir yang tiba. Ketika ditanya Leandro selalu mengatakan, biar saya tiba lebih dahulu juga saya tidak bermain, lebih baik saya tiba terakhir.,” demikian kenang Romo Erwin Asa, Pr.
Pertemanan 4 tahun di Santo Mikhael, tak pernah lekang oleh panas, tak luntur oleh hujan.
Empat tahun berlalu dan kami harus berpisah untuk menjalani masa Tahun Orientasi Pastoral. Tahun 1999 kami saling ucapkan sayonara, setelah menyelesaikan studi filsafat.
Walau kami berpisah secara fisik dan raga, tapi jiwa kami tetap menyatu, tetap bersama.
Penulis hanya menyelesaikan masa TOP dan tidak kembali lagi sebagai mahasiswa Teologan ataupun calon imam.
Selebihnya hanya mendengar kisah dan ceritera tentang teman-teman untuk berproses di tahap-tahap selanjutnya sebagai calon imam, menjadi diakon dan akhirnya ditahbiskan jadi imam.
Dari 33 pemuda saat masuk pertama sebagai angkatan V Seminari Tinggi Santo Mikhael, hanya ada belasan orang yang ditahbiskan jadi imam tahun 2003.
Mgr Leandro sendiri, baru ditahbiskan jadi imam bulan Desember tahun 2006.
Catatan Akhir
Atas Nama Soliditas dan Solidaritas, Kami Hadir Beri Dukungan
Tanggal 26 April 2023 pukul 18.47 Wita, salah seorang teman kelas Romo Yulius Efi, Pr yang sekarang bertugas di Keuskupan Sibolga mengirim di WA Grup Lalian 40 dan Angkatan V STSM, info tentang terpilihnya Romo Leandro sebagai Uskup Baucau.
Rasa syukur, terima kasih, bangga menghiasi percakapan di grup sejak saat itu hingga tulisan ini dibuat. Sontak semua teman bergembira dan menyatakan siap hadir dalam acara tahbisan nanti.
Kiriman foto saat masih frater, lalu menjadi imam hingga foto resmi saat menghadap Paus Fransiskus di Kota Roma, kami terima sebagai sebuah berkah yang tak terkira. Bahkan karena senang dan bangga, kami beberapa teman harus menelpon langsung Romo Leandro untuk memastikan, apa benar dirinya terpilih jadi Uskup.
“Angkatan kita akhirnya ada yang menjadi seorang Uskup. Kita patut berbangga,” tutur Januarius Boko, teman Mgr. Leandro yang sekarang bekerja sebagai ASN di Malaka dan dipercayakan memangku jabatan Kadis Pendidikan dan Kebudayaan.
Percaya atau tidak, yakin atau tidak, ini realitas. Ini kenyataan. Bahwa Romo Leandro kini menyandang status Uskup dan akan disapa Dom Leandro, Yang Mulia, dan semua umat Katolik yang bertemu dengannya akan mencium cincin yang melingkar di jari manis, tangan kanannya.
Yakin atau tidak, lelaki berusia 49 tahun itu yang dulunya pernah menjadi teman bermain, teman masa kecil, teman sekolah, teman angkatan kini sudah harus berjubah Uskup dan menempati Katedral Baucau. Sesuatu yang mungkin tak pernah dibayangkan banyak orang. Akan tetapi kita bercermin pada kata-kata Mazmur. RancanganKu bukan rancanganmu, rencanaKu bukan rencanamu. Ini semua rencana dan rancangan Tuhan jauh-jauh hari sebelumnya, “Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku. Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya”. (Mazmur 139 :13-16)
Atas dasar kebanggaan yang terakumulasi jadi satu itulah, alumni Seminari Tinggi Santo Mikhael Kupang mulai dari angkatan perdana, terutama Angkatan V melalui perwakilannya baik imam maupun awam bersedia datang ke Baucau, melintasi Batugade, Maubara masuk ke Dili lalu melanjutkan perjalanan ke Baucau untuk mendapatkan berkat dari Uskup Pertama alumnus Santo Mikhael, yang adalah teman kelasnya.
Tanggal 3 Juli 2023, melalui Romo Goris Dudi kami semua mendapat undangan untuk hadir dalam Upacara Tahbisan Mgr. Leandro sebagai Uskup Baucau.
Di bawah motto tahbisan Uskup “Pertransivit Benefaciendo” yang artinya Dia Berkeliling Sambil Berbuat Baik, yang direfleksikan dari Kisah Para Rasul dalam Alkitab, semoga Uskup Leandro Maria Alves menjadi berkat bagi sesama. Tangannya yang selalu terentang untuk memberikan berkat, harus tetap abadi.
Seperti saat masih jadi pemain basket di Santo Mikhael, semoga “lemparannya” mampu menghasilkan nilai-nilai yang membawa setiap umat kepada kemenangan dan keselamatan dalam nama Tuhan Yesus Kristus dan di bawah naungan doa Bunda Maria, mulai dari Bumi Lorosae hingga ke ujung dunia. ***